Senin, Maret 24, 2008

SPIRITUALITAS

SEBUAH DISIPLIN HIDUP


Oleh : Rasid Rachman


Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “spiritualitas”. Kata spiritualitas bukan hanya digunakan dalam gereja, tetapi juga di dunia sesehari (semisal Spirituality Quotient) yang posisinya disejajarkan dengan IQ dan EQ. Spiritualitas berasal dari bahasa Latin: spiritus (n), artinya menghembuskan, tiupan, aliran udara, nafas, ilham, roh, jiwa, sukma, dan hati. Pengertian tersebut berhubungan dengan kedirian dan kesadaran manusia. Spiritus juga berarti sikap, perasaan, kesadaran diri. Pengertian ini berhubungan dengan pelatihan atau disiplin hidup. Spiritus dapat juga berarti kesombongan, keinginan untuk memegahkan diri, gila hormat, murka, dan kemarahan; arti ini masih berhubungan dengan keadaan diri manusia secara manusiawi. Kata keterangan spiritalis, artinya rohani, batin, hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan, maknawi. Kata kerja spiro berarti berembus, bertiup, membantu, memajukan (memberi spirit), memancarkan, memberi semangat. Pengertian tersebut berhubungan dengan hal mengerjakan sesuatu, baik bagi diri sendiri maupun terutama bagi orang lain.
Jika umat manusia digolongkan menurut jalan hidupnya, maka kaum spiritualis adalah salah satunya, masih termasuk kategori mistik. Golongan-golongan yang lain yakni kaum humanis dan kaum agamanis. Kaum agamanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan dogma agama dan peribadahan lembaga agama, agama komunal, atau agama masyarakat. Kaum humanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan ilmu-ilmu pengetahuan, filsafat, dan hidup bermasyarakat. Kaum spiritualis mengekspresikan dirinya melalui jalan askese. Yang jelas berbeda dari golongan-golongan tersebut adalah cara pelatihan atau disiplin hidup yang dilakukannya, sedangkan “jadinya” kira-kira sama, yakni menjadi manusia sempurna secara manusiawi. Seorang spiritualis menunjukan sikap spiritualitasnya, seorang humanis menunjukkan kemanusiaannya, dan seorang agamanis menunjukkan sikap beragamanya demi kepentingan dunia, manusia, dan tata masyarakat yang mensejarah.
Dewasa ini, menurut hemat saya, ada manusia yang murni konsisten berada pada salah satu saja penggolongan tersebut, namun rupanya lebih banyak yang tidak murni konsisten berada pada salah satu penggolongan tersebut. Seorang humanis ada yang juga agamanis atau spiritualis, vice versa. Walaupun setiap kaum dari masing-masing golongan bisa saling belajar dari golongan lain, namun setiap golongan tersebut “mempunyai dunia sendiri” yang dijalankan sepanjang hidupnya. Dunia setiap golongan tersebut tidak terlepas dari disiplin ilmu, sejarah, dan tradisinya masing-masing. Kaum humanis mengembangkan tradisinya dari sekolah, kaum agamanis dari rumah ibadahnya masing-masing, sedangkan kaum spiritualis dari biara atau rumah pertapaan.

Berspiritualitas adalah berdiri sendiri.

Sejarah ringkas spiritualitas
Gerakan spiritualitas sudah berlangsung lama sekali dalam sejarah sejak ratusan tahun sebelum Masehi. Sejarah mencatat Sang Budha Gautama pada sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Di Israel ada tradisi gurun pasir semisal Qumran dan Therapeutik. Gerakan spiritualitas juga bersifat universal dalam hampir setiap kebudayaan masyarakat, baik timur maupun barat (mis. keberadaan tokoh spiritual di setiap suku dan masyarakat). Demikian pula gerakan spiritualitas dalam kekristenan.
Pada mulanya, lahirnya gerakan spiritualitas dalam kekristenan dimulai oleh kalangan awam secara individual, biasanya orang muda. Mereka ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada keduniawian, lembaga gereja, gelar kebangsawanan, dan hidup bermasyarakat. Sebagai gantinya, mereka hidup menyendiri (monachoi) dan menjalankan tapa brata, bermeditasi, atau hidup askese (pertarakan). Hidup tak bermasyarakat merupakan nafas seorang rahib. “Rahib justru tak dapat hidup jika keluar dari sel dan bermasyarakat,” kata Antonius, salah seorang pelopor gerakan spiritualitas di Mesir. “Kesunyian adalah pembebasan kaum asket,” kata Arsenius. Hidup menyendiri ini merupakan sikap kemandirian dan ketidak-tergantungan. Orang yang menjalankan disiplin melatih diri untuk “tidak meminta-minta” atau mengemis. Pembebasan dari gelar kebangsawanan merupakan upaya para rahib untuk bukan hanya menolak keduniawian, tetapi juga pada jabatan dan mengejar gelar. Selain itu, para rahib/rubiah tidak terikat pada hidup perkawinan, melainkan pada selibat. Selain betul-betul sendirian, juga dimungkinkan para asket membuat perkumpulan. Ada perkumpulan asket atau biara pria, ada pula biara perempuan; disebut kenobit. Para rahib/rubiah tidak mengikat diri pada materi-materi duniawi, semisal: jabatan, gelar, harta, lembaga perkawinan, melainkan menerapkan pola hidup miskin dan selibat. Pola hidup miskin kemudian berkembang menjadi pola hidup sederhana dan tidak selalu enak.
Suatu tempat untuk menyendiri bagi kaum spiritualis pada sekitar abad ke-3 adalah padang pasir Mesir. Dipilihnya padang pasir di Mesir tak terlepas dari masalah penganiayaan terhadap orang Kristen oleh pemerintahan Romawi. Selama penganiayaan dan pembunuhan zaman Kaisar Decius (249–251), banyak orang Kristen melarikan diri ke padang pasir untuk melepaskan penderitaannya. Penganiayaan terhadap orang Kristen memuncak hingga zaman Kaisar Diocletian (245-313) yang menguasai wilayah timur Romawi dan Kaisar Maximian yang menguasai wilayah barat. Hingga kini padang pasir Mesir dianggap induk, pelopor, dan pola membiara awal dari segala spiritualitas Kristen, baik timur maupun barat, oleh berbagai kalangan ahli monastik. Di gurun pasir itulah kemudian lahir dan berkembang pusat-pusat monastik awal. Pusat-pusat monastik awal itu terletak di luar kota dan di desa-desa sepanjang Sungai Nil, biasanya tidak jauh dari oasis atau mata air ke arah Laut Merah. Ada juga yang berlokasi di dataran tinggi, perbukitan, atau di dalam gua. Tempat-tempat itu berada di sekitar quba (bahasa Syria artinya sumber air atau sumur tua).
Dari Mesir, pancaran disiplin spiritualitas merambah ke wilayah barat, yakni Italia. Benediktus yang lahir dari keluarga bangsawan di Nursia-Italia, menempuh jalan askese anakhoret di Enfide. Pada mulanya, ia banyak meniru cara monastik padang pasir. Namun karena panggilan spiritualitasnya, kemudian ia mendirikan biara kenobit di Subiaco dan Monte Cassino. Jika di Mesir para rahib memusatkan pada pola hidup bertapa seorang diri (eremit atau anakhoret), maka menurut Benediktus kehidupan bersama (kenobit) dipandang sebagai pola yang ideal.
Setelah Benediktus mangkat, biara Benediktin tidak mampu bertahan terhadap beberapa kali serangan dan kehancuran rumah biara di Monte Cassino. Para rahib bersama tradisi Benediktin menyebar ke Irlandia dan kemudian ke Perancis. Di dua wilayah tersebut Benediktin berkembang, bahkan hingga kini masih dapat dijumpai (bekas) pusat biara. Terutama Perancis, kemudian menjadi pusat lahirnya biara-biara, yang berarti terpeliharanya kehidupan spiritualitas. Perkembangan Benediktin ke seantero Eropa terutama bukan disebabkan oleh para rahibnya, tetapi pada pengaruh Regula Santo Benediktus (RB) atau Peraturan Santo Benediktus (PSB). RB rupanya menarik perhatian baik para rahib maupun penguasa di Eropa waktu itu. Banyak biara Eropa yang kemudian mengganti regula lama mereka dengan RB. Karena hal inilah kemudian Benediktus dinobatkan oleh Takhta Suci Vatican sebagai Bapa Eropa.
Hingga sekitar pertengahan Abad-abad Pertengahan, mulai terbentuk akan-akar dua tradisi kehidupan monastik, yaitu: 1) kerasulan aktif, dan 2) kontemplatif atau observansi ketat. Namun kedua tradisi tersebut baru jelas terlihat setelah munculnya biara Cluny-Perancis pada tahun 909 yang sangat aktif. Cluny tidak bertahan lama, sebab kemudian muncul gerakan spiritualitas baru, yaitu dengan lahirnya biara Cîteaux dan la Grande Chartreux pada sekitar abad ke-11 dan ke-12. Keduanya menerapkan kembali disiplin spiritualitas kontemplatif dan pertapaan. Para rahib tinggal di selnya masing-masing dalam sebuah rumah biara. Dari Chartreux kemudian muncul tradisi Kartusian, dan Cîteaux melahirkan Cistersiensis (Rawaseneng-Temanggung dan Gedono-Salatiga).

Disiplin spiritualitas
Agak berbeda dengan teologi sebagai ilmu, spiritualitas adalah sebuah disiplin hidup atau pelatihan untuk mencapai kesempurnaan manusiawi, bukan tujuan. Pelatihan spiritualitas berjalan seumur hidup, sehingga kemudian menjadi nilai. Oleh karena sebuah disiplin, maka spiritualitas terlihat sebagai pola hidup seseorang atau komunitas dalam rangka menyempurnakan kemanusiaannya, yaitu: mandiri, pengendalian diri, bersahaja dan sederhana, sadar diri, dan berketuhanan.
Sejarah monastik memunculkan dua tradisi membiara, yaitu aktif dan kontemplatif. Biara aktif melakukan karya kerasulan di dunia kesehatan, pendidikan, pengasuhan, atau rumah retret. Pendirian rumah sakit, pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi, dan panti-panti asuhan, merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan dalam pola spiritualitas aktif. Termasuk di dalam biara ini adalah Misionaris Cinta Kasih di Kolkata-India. Biara kontemplatif, tak kurang pula perannya. Selain memproduksi hasil tangan dan home industry, biara kontemplatif juga menyediakan sarana retret atau rekoleksi bagi setiap orang yang memerlukan waktu berhening beberapa saat. Dari informasi tersebut, yang perlu kita ketahui bahwa berdisiplin spiritualitas bukan berdiam diri dengan melulu berdoa, melainkan bekerja melakukan sesuatu bagi dunia karena dorongan kemanusiaan.
Doa dan kerja. Kehidupan askese tidak melulu diisi dengan berdoa dan bermeditasi. Sejak Antonius di padang pasir, kehidupan doa dan kerja telah dijalankan oleh rahib. Para rahib berdoa agar selalu berhubungan dengan Allah. Para rahib bekerja agar memuliakan Allah. Dengan bekerja, rahib tidak menjadi pengemis sehingga berdosa, atau menjadi beban bagi orang lain untuk mencukupi kehidupannya. Bahkan Pachomius, sezaman dengan Antonius, mengembangkan kehidupan kerja menjadi pebisnis berjualan hasil karya tangannya ke luar wilayahnya di Mesir Hulu. Namun kerja dilakukan tanpa ngoyo. Rahib tidak bekerja untuk mengejar keuntungan (godaan bagi biara aktif), juga tidak melulu berdoa sebagai alasan agar tidak usah bekerja (godaan bagi biara kontemplatif).
Puasa dan derma. Puasa dijalankan dalam kehidupan askese agar asket selalu eling akan kemanusiaannya. Selain itu, puasa menyadarkan manusia akan artinya kenyang dan makan karena pernah lapar. Oleh karena itu, berpuasa selalu diikuti oleh derma (bnd Islam: puasa dan zakat fitrah). Sebab dari kelebihan karena tidak makan, seseorang dapat memberikannya kepada yang lapar. Dengan demikian, disiplin spiritualitas membangkitkan juga kepekaan sosial seseorang “tanpa pandang bulu” dan berpola hidup sederhana.
Belajar. Baru di zaman Benediktus abad ke-6, kaum asket menggunakan sebagian waktunya untuk membaca buku selain Alkitab dan mempelajari tradisi. Sejarah mencatat munculnya banyak penulis dan peneliti dari kaum biarawan. Hingga kini, biara-biara memiliki perpustakaan dan buku-buku yang sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang teologi dan spiritualitas. Dengan demikian kita melihat bahwa disiplin spiritualitas tidak dapat dilepaskan dari proses pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Apalagi di zaman sekarang, banyak rahib/rubiah yang terpelajar dan berpendidikan tinggi.
Keramahan dalam menolong. Beberapa biara memiliki ruang tamu, yang disebut hospitas. Pada sekitar Abad-abad Pertengahan, banyak orang sakit dibawa ke biara, dan para rubiah menolongnya di ruang tamu tersebut. Pertolongan ini kemudian menjadi semakin mandiri dengan didirikannya rumah-rumah sakit (hospital) untuk merawat orang sakit di luar rumah biara.
Kesetiaan pada regula biara. Hal ini dilakukan agar kehidupan kerahiban dan monastik tidak menjadi bias karena zaman. Kesetiaan pada regula merupakan arah bagi rahib untuk menjalankan panggilan spiritualitasnya agar tetap pada jalur panggilan semula (konsistensi), yaitu: kemiskinan, keperawanan, doa, dan bekerja. Hal ini dapat dibandingkan dengan core business gereja.

Spiritualitas dalam Gereja (bnd die Innerweltliche askese)
Gereja dapat mengambil refleksi kehidupan spiritualitas kaum spiritualis tanpa menjadi rahib dan menjalani kehidupan di biara. Beberapa percikan spiritualitas biara terpancar pula dalam kehidupan gereja seumumnya. Atau, gereja dapat belajar dan menerapkan beberapa pancaran spiritualitas askese dalam hidupnya.
Salah satu contoh adalah berjualan makanan atau karya tangan untuk melakukan suatu kegiatan. Biara kontemplatif memenuhi kehidupannya dengan menjual hasil kerja tangannya sendiri. Berjualan makanan untuk kegiatan bermanfaat, misalnya, jauh lebih baik ketimbang melulu minta-minta sumbangan untuk merayakan Natal. Memang beberapa pihak justru tidak setuju dengan usaha berjualan di gereja. Biasanya yang menjadi acuan adalah Lukas 19:45-46 “Yesus mengobrak-abrik barang dagangan di Bait Allah”, namun menutupi nas 2Tesalonika 3 “kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan”. Pada pihak lain kita juga dapat melihat bahwa berjualan adalah salah satu pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, membuat seseorang mandiri dan tetap bekerja, bersaing sehat, dan jauh dari korupsi.
Yang saat ini juga relevan adalah pola hidup sederhana. Dulunya, GKI adalah gereja sederhana. Areal bangunan GKI tergolong sempit dan tidak megah, sebab GKI memang berasal dari gereja yang “tidak ada apa-apa”. Dibanding dengan gereja lain di sekitar GKI, semisal GKP, GPIB, dan RK, GKI bukan gereja warisan atau dukungan gereja Eropa dengan lahan yang luas. Namun di tahun 1980-an dan seterusnya, GKI menjadi gereja yang secara ekonomi mapan. Beberapa Jemaat memperluas kavling rumah ibadahnya, membeli beberapa mobil, bahkan sekarang sedang trend memasang pengejuk ruang (AC). Berkatnya memang baik, namun akibatnya pun perlu diwaspadai supaya kita tidak lupa diri. Memang saya tidak mencap semua yang melakukan itu adalah salah, namun saya mengajak kita semua untuk melihat alasan pengadaan semua hal tersebut. Apakah memang kebutuhan, atau karena kemanjaan? Kebutuhan memang merupakan alasan tepat untuk dipenuhi, tetapi kemanjaan hanya menciptakan sikap beriman yang tumpul dan terlena karena terbiasa selalu hidup enak-kepenak. Disiplin spiritualitas selalu memberikan “ruang” agar hidup tidak selalu serba enak dan mudah, dengan melatih diri hidup sederhana yakni hidup secukupnya.
Ora et labora merupakan disiplin spiritualitas yang baik dilakukan oleh gereja. Augustinus abad ke-5 mengatakan “vere novit recte vivere, qui recte novit orare”, artinya orang yang hidup benar adalah orang yang menjalankan doa dengan benar. Orang yang hidup benar adalah orang yang tahu menjadi manusia. Di biara-biara, para rahib tidak melulu berdoa tujuh kali sehari, tetapi juga bekerja dengan giat. Lagipula, seseorang yang bekerja tidak akan menghabiskan waktunya dengan ngobrol-ngobrol. Kerja dapat digolongkan menjadi kerja tangan (=manual) dan kerja intelektual (=belajar). Kerja ditempatkan secara sejajar dengan doa; sama-sama pentingnya. Kurangnya kehidupan doa (hanya seminggu sekali dalam persekutuan doa pagi/sore), dapat menyebabkan kita juga tidak memandang penting bekerja mandiri atau menghormati orang yang bekerja dengan tangannya. Banyak kalangan yang merasa “tak pantas” melakukan bongkar-pasang kursi di gereja, atau membagi-bagikan nasi bungkus kepada korban banjir, atau menyapu halaman gereja dan menyikat toilet.

Tidak ada komentar: